Lukisan Laut - Nina Minareli

Laut meluap dari kebisuan panjang matamu
Menitipkan Cuaca bagi hujan yang menjelma sangkar

Arah mata angina, biduk-biduk kecil, karang-karang
Pecahan cahaya ombak melingkar hening

Senja tenggelam, burung-burung hitam
Mengembalai sudut-sudut tabir warna musim

Laut adalah gemuruh kematian biru
Catatan rahasia cermin langit yang ragu dan bisu

2002

ONANI - Nina minareli

Aku gila, ingatanku sepenuh laut
Sepanjang malam aku telanjang memungut
Kepingan bulan di atas ranjang
Kejantananmu merampas hijau daun
Luruh di otakku, gairah angin
Pohon-pohon merambah jurang
Menyentuh getar malam
Disunting bayang-bayang


Kulumat tetesan letihmu di rintik hujan
pedangmu mengusung ribuan ayat
Kubaca di luar arus cuaca
Engkau kugilai sepanjang nafas perang
Akrobat di atas ranjang, permainan separuh impian
Darahku muncrat dalam erangan syair kudusmu
Yang mengalun membeelah lautan


Langit melepaskan cuaca
Dari lambungmu, kata-kata muntah
Kabut mengembun dari samar cahaya
Kusimpan dalam peta purnama yang jauh
Suara-suara itu kan kian mendekati kemurungan
Cakrawala terbelah di atas gelas-gelas resah
Diantara kerinduanku dan sepi

Aku gila ,badai mengupas ribuan ruh
Dalam riwayat hujan tafsir yang membara
Gairahku membeku di awal abad yang dahaga
Aku ingin kembali ke hutan melewati arus
Tak bertuan,matamu tak selamanya meriwayatkan
Cahaya di atas bukit hijau, cadas putih, tepian
Pantai yang hanya membekas dalam tatapan langit

Sebuah tirani menggaung di belahan laut
puncak keabadianku dalam sunyi
meraba cahaya dari ayat - ayat yang kau jadikan anggur
Ingatanku masih meraba segumpal daging
Kastik tua, hitam gaun malam, asap rokok
Pada upacara persembahan laut,
Waktuku Hanya sesaat mengikuti jejak hari ini
Dan lusa yang kehilangan kata

Aku mabuk dan gila, menelikung mimpimu
Yang berarak menjabarkan tasbih di atas mega
Kepakan burung merahasiakan senja,merumuskan
Dongen mawar dan bendera yang selalu berkibar
Di antara ubun- ubun cuaca, aku ingin kembali
Memungut nafas dari tanah jiwamu yang tak terjamah
Isyarat perang, perjanjian dan tanda tangan
Bukanlah kermerdekaan baru yang tergores di dadamu
Pembebasan impian, rumusan-rumusan hidup yang kau lukis
Genderang sunyi telah aku ledakan malam tadi

2006

Sajak Perlawanan - Nina minareli

Kali ini ingin kutuliskan sebuah sajak perlawanan
Dengan secangkir kopi pahit yang kau sediakan
Di meja makan
Meskipun roda musim tak memuat lagi angin rindu
Atau kicau burung di tengah kota itu
Tapi langit dan lautan masih tetap akan menyerap kata-kata
Di mana sebuah jembatan, pohon-pohon dan pebukitan
Akan menerjemahkan segalanya
Biarkan saja kita di sini meniti satu per satu malam
Dengan kegelisahannya yang panjang
Walau nafas-nafas di sudut kota mulai berbau bara
Walau harga luka melayang-layang di atas telunjuk dunia
Biarkan saja sebab hujan akan menjabarkan sajak-sajakmu
Sebagai kekuatan di luar badai
Dan perlawanan di dalam penjara angin
Yang bergaris pada bilik nurani kita sendiri
Mulailah kawan
Lawanlah pelan-pelan!
1998
Sajak-sajak Peduli Bangsa

Kota Biru

Lewat jalur jalan di pinggir taman
Dan rel-rel yang memanjang ke tengah perkotaan
Serta suara lokomotif yang sebentar-sebentar mengerikan
Semuanya seperti menyimpan keheningan
Sepanjang ruang dan gemuruh para pejuang di jalan
Di mana mereka tengah menghamburkan darah ke arah bulan
Tapi matamu kali ini lebih terbuka dari kata-kata
Dari sebuah jembatan yang menanjak ke angkasa
Atau dari sebutir peluru yang ditembakkan ke angkasa
Hingga di situ kudapatkan engkau mematung sendirian
Di depan cermin langit yang letih
Di mana seorang penari turut menggoyangkan hari
Memeras dan memahat keringat waktu sendiri
Di sekujur tubuh negeri ini
Malam yang dingin di bibir kota ini
Di tengah padang rumput yang tinggi
Dan percikan air hujan yang mengguyurkan kegelisahan
Ada sebuah tangga yang berputar menuju kamar impian
Dengan diterangi sedikit cahaya bulan
Aku hanya mampu menahan getaran musim di nafasmu
Tapi angin seolah memaksaku untuk terus berkhayal
Seperti musim yang kehausan melumat sisa waktu
Di mana orang-orang tengah berlibur
Sebelum kekalahan benar-benar terlanjur
1998
Sajak-sajak Peduli Bangsa